Tak ada pendiam yang tak tinggalkan misteri. Ketika ia berdiri atau duduk dalam diam, orang tak mudah tebak apa yang sebenarnya ia simpan. Sesekali ia berbicara namun tetap kata-kata yang terbatas itu tak mampu jawab tanya manusia tentang siapa dirinya.
Saya baru berkenalan dengan seorang pendiam. Seperti yang sudah-sudah, ketika berkenalan dengan para pendiam saya selalu lebih berhati-hati dalam produksi kata. Walaupun tidak mendadak saya ikut jadi pendiam sepertinya. Hanya lebih bersahaja. Saya harus selalu mempelajari siapa lawan bicara saya. Ini penting.
Saya sebenarnya bukanlah orang yang terlalu banyak bicara. Tapi saya bisa berbicara banyak jika suasana menghendaki. Dan sayangnya ceplosan kata terkadang mengalir dari alam bawah sadar. Saya kurang berhati-hati dalam merangkai kata. Saya sedang belajar.
Kali itu saya berkenalan dengan seorang penulis. Awalnya saya tak tahu. Dia tampak begitu bersahaja. Penampilan beliau juga sangat sederhana. Tapi tatapan matanya sangat berbeda. Tajam. Baru ketika teman saya memperkenalkan lebih jauh siapa fulan ini saya jadi tahu tentangnya.
Dia adalah penulis dengan beberapa karya yang sudah diterbitkan. Saya jadi minder. Dan dia hanya mendengarkan cerita tentang dirinya sambil membaca dan mengoreksi transkrip tulisan yang baru dikeluarkannya dari ranselnya.
Sepulang ke kosan saya buka kembali Diwan Imam Syafi’i yang sering saya jadikan pelipur hati. Saya ingat ada Sya’ir yang senada dengan kejadian ini. Tentang “diam”. Yaitu syair pertama pada Qofiyah Al-Cha yang berjudul ash-Shumtu Hikmatun yang berarti “Diam itu bijaksana”. Tentu maksudnya adalah diam pada tempatnya. Begini bunyinya:
Saya coba terjemahkan secara bebas. Sangat bebas : D
Kawan. Tak ada pendiam yang tak tinggalkan misteri. Maka cobalah memiliki wibawa dengan tak banyak bicara yang tak berarti.Mereka berkata “Diamlah engkau!” karena mereka memusihiku
Aku katakan bahwa bicaraku tentu akan membuka pintu keburukan
Diamku terhadap orang si jahil dan si pandir adalah kemuliaan
Dengannya aku menjaga tak merusak harga dirikuApakah engkau tidak melihat seekor singa?
Bukankan ia disegani kar’na diamnya?
Dan coba kau lihat anjing yang hina itu
Sungguh ia dilempari batu kar’na gonggongannya